The Betrayal – Animal Farm’s Last Scene Peering through the farmhouse window, the animals of Animal Farm stand in silence. Inside, the pigs, once their comrades in the revolution, sit at a grand table, laughing and toasting with the human farmers. Both pigs and men wear only black ties, a strange symbol of their unity and shared authority. What began as a dream of freedom has turned into a nightmare. The pigs, who once promised equality and justice, now speak, drink, and act like the very humans they overthrew. Outside, the animals watch with growing confusion and sorrow. They look from pig to man, and from man to pig, but already it is impossible to say which is which. The dream of equality has died and the cycle of power begins again.

A blurry image of a young boy holding a gun on his right hand, shooting a Blue bullet up to a golden sky. Which could mean absolutely nothing.

A small acknowledgement of Gen Z\'s hustle lifestyle in need to slow down and heal

This diorama presents The Metamorphosis by Franz Kafka, calling out the very strong feeling of Gregor Samsa being consumed by mental illness causing him to look at himself differently and can no longer function normally. Through this diorama, the tale of Gregor Samsa is told by putting in elements of metaphors like a bed, a table, rolls of fabric, mirrors, an apple, and last but not least roaches as it is likely the star to this novel.

Petualangan bukan hanya soal keberanian, tapi juga soal pilihan. Jujur atau Tidak Jujur dibuat untuk mengajak pemain menyelami dilema moral yang sering kita hadapi dalam kehidupan nyata dengan latar alam Sumatra Barat yang kaya dan penuh makna. Terinspirasi dari kisah rakyat Tuan Jujur, saya bikin board game ini ingin menghidupkan kembali nilai kejujuran dalam bentuk yang seru, menegangkan, dan penuh makna. Lewat karakter Indra, Azra, Rizal, dan harimau penjaga harta, pemain diuji: apakah akan jujur dan menghormati alam, atau tergoda oleh harta dan berbohong demi keuntungan? Setiap keputusan punya dampaknya. Di game ini, nilai moral bukan sekadar latar cerita—tapi inti dari permainan itu sendiri.

Karya ini menggambarkan manusia sebagai sosok yang dibentuk oleh lapisan-lapisan kertas yang setiap lembarnya mewakili narasi yang telah tumbuh dan mengakar dalam masyarakat. Narasi-narasi ini secara tidak langsung membentuk identitas individu maupun kolektif. Semakin dalam narasinya, semakin dalam juga pengaruhnya. Beberapa bersifat positif, membentuk jati diri dan rasa kebersamaan, sementara lainnya menyakitkan, menekan, bahkan tersembunyi sebagai trauma yang jarang disadari. Karya ini mengajak audiens untuk merefleksikan bagaimana narasi populer yang sering dianggap “kebenaran” ternyata memiliki banyak sisi, dan sebagai manusia, kita harus lebih bijak dalam mengelola narasi yang ada di sekitar kita.